Wacana ini sangat menarik untuk diangkat karena letak logika dalam
kehidupan manusia adalah hal yang tak dapat dilepaskan dalam menjawab
berbagai permasalahan. Hal ini sangat berpengaruh, terutama hubungannya
dengan agama, suatu aspek yang paling “sensitive” bagi masyarakat
Indonesia. Dan, jika menghubungkannya dengan kemampuan logika, maka
banyak hal dari agama yang tak dapat dijawab oleh logika. Mungkin di
negeri Barat tidak banyak hal ini dibahas, mengingat bahwa mereka tidak
terlalu mempersoalkan masalah yang terjadi dalam perkembangan teologi.
Tapi di Indonesia, tentu saja berbeda, karena selama belasan abad
masyarakat Indonesia dibesarkan dan banyak diatur oleh agama. Namun,
dalam hal ini bukanlah masalah adanya posisi agama dalam masyarakat
timur ataupun barat, yang dipermasalahkan adalah bagaimana logika atau
akal manusia menjadi senjata manusia untuk membunuh agama manusia itu
sendiri.
Logika adalah suatu langkah bagi manusia untuk
menggunakan akal dalam menyelesaikan berbagai hal. Tentu saja akal
menusia begitu memiliki peran pentung dalam pengembangan ilmu dan
pengetahuan yang akhirnya akan berimbas pada membangun peradaban.
Namun, tidak dapat disangkal pula bahwa logika manusia tidak sempurna
dalam menjelaskan segala sesuatu. Menjelaskan berbagai hal yang
non-material tidak dapat dilakukan lewat logika. Bahkan, emosi manusia
juga sering memengaruhi setiap wacana yang dikemukakan. Sehingga, hal
yang begitu emosional dapat dilogiskan lewat retorika yang seakan-akan
menghipnotis para pendengarnya.
Terlepas dari masalah
peretorikan logika atau akal dalam masalah rasional atau irasional,
Islam begitu sangat menghormati posisi akal, melebihi agama-agama lain.
Sebagai risalah Ilahiyyah terakhir, Islam mempersyaratkan kewajiban
menjalankan agama bagi orang yang berakal. Artinya, orang yang hilang
akalnya tidak diwajibkan mengerjakan perintah atau menjauhi
larangan-Nya. Dalam al-Qur'an, kata-kata yang berakar pada 'aql
bertaburan di berbagai surat. Kata-kata: afalaa ta’qiluun (Maka
tidakkah kamu menggunakan akalmu?; Tidakkah kamu berfikir?) terulang
dalam al-Al-Qur'an tidak kurang dari 13 kali. Kata la'allakum ta'qiluun
(agar kamu mengerti/memahami) terulang sekitar 8 kali; li qaumin
ya'qilËn (untuk kaum yang menggunakan akalnya/memikirkan) sekitar 8
kali; belum lagi kata-kata na'qilu, ya'qiluuna bihaa, ya'qiluhaa,
takuunuu ta'qiluun, dsb. Penghargaan terhadap akal yang sedemikian
agung dalam Islam, bukan berarti akal dibiarkan bebas berkelana liar
tanpa batas dan arahan, terutama saat berhadapan dengan ketentuan wahyu.
Memang
benar, jika dikatakan bahwa kebanyakan manusia akan menggunakan akalnya
memutuskan bahwa suatu hal dikatakan benar atau salah. Hal tersebut
adalah sangat wajar dan bahkan menjadi suatu tuntutan dasar bagi
manusia untuk menemukan kebenaran. Tapi banyak hal yang membuat akal
tersebut tidak akan menemukan kepastian dalam proses berfikirnya. Akan
sangat sulit bagi setiap kepala mengeneralisir fakta-fakta yang ada
dengan sama persis. Hal ini dikarenakan bahwa setiap manusia memiliki
alam sosial yang berbeda dan memiliki kekhasan sendiri-sendiri.
Lingkungan sosial akan memengaruhi pikiran dari manusia, sehingga akan
sangat sulit—bahkan tidak mungkin—seorang akan mendapatkan kesimpulan
pengetahuan yang objektif dan bebas dari pengaruh pola-pola konseptual
pada tempat dan waktu yang bersangkutan. Ini tentu sangat subnjektif.
Lalu
timbul pertanyaan, logika adala salah satu alat untuk mendapatkan suatu
kebenaran, yang mana akan berlaku bagi manusia yang lain, jadi
bagaimana bisa penulis malah menyangkut-pautkannya dengan subjektifitas
manusia? Bukankah setiap manusia memiliki kemampuan berlogika, dan jika
logikanya benar maka akan menuju satu arah yang sama? Inilah
masalahnya, tidak semua manusia memiliki kemampuan akal dan logika yang
sama. Sehingga masing-masing dari manusia itu tidak akan mengetahui
mana yang menjadi “kebenaran” yang benar, karena mereka akan membentuk
klaim-klaim sendiri. Tidak ada jaminan bahwa manusia yang lebih pintar
logika atau pengakalannya akan dapat memengaruhi manusia yang bodoh.
Sebaliknya, sangat tidak menutup kemungkinan bahwa orang yang
logikannya dangkal tidak akan dapat memengaruhi banyak manusia lainya.
Hanya dengan penyajian kata-kata atau symbol yang baik di mata manusia
yang lain, maka hasil penglogikaan akan mudah diterima. Kejadian
seperti ini sudah banyak terjadi di lingkungan kita. Jadi, artinya
adalah logika tidak dapat mengantarkan seluruh manusia pada satu titik
kebenaran.
Lalu, bagaimana hubungannya dengan agama? Hubungannya
sudah sangat jelas, manusia tidak akan lepas dari akal dan manusia pun
akan selalu membutuhkan agama, apapun bentuknya (atheis pun dapat
dikategorikan orang yang beragama atau beraliran karena keatheisannya).
Dalam hal ini, logika benar-benar ibarat pisau. Tapi bukan pisau
seperti yang biasa kita tafsirkan, bahwa “logika adalah pisau, maka
tergantung dari siapa saja yang memegangnya. Jika logika itu digunakan
oleh orang jahat, maka hasilnyapun akan jahat, dan jika dipegang oleh
orang baik, maka hasilnya pun akan baik”. Bukan seperti itu, melainkan
akan menjadi lebih rumit lagi. Bagaimana seorang yang memiliki agama,
ternyata meragukan kembali agamanya berkat logika yang ia pakai. Lalu,
penganut suatu agama menyerang agama lain dengan logika yang ia pakai.
Logika
memang ibarat pisau, tapi ia berada berdiri tegak di suatu kerumunan
orang yang tidak terkendali. Siapapun yang dapat mengambil pisau itu
terlebih dahulu, maka ia akan dapat melukai yang lain, sehingga orang
lain harus kembali mencari pisau di tempat yang lain atau akan terbunuh
dengan perlahan. Dalam kasus lain adalah jika salah seorang salah cara
mengambil pisaunya, maka ia akan terluka sendiri. Artinya adalah,
siapapun yang telah menemukan alasan logis tentang agama lain, maka ia
akan dapat menyerang agama tersebut dengan membabi-buta. Begitu juga
ketika seseorang salah menggunakan logika atau sumber ilmu yang ia
dapat, maka akan sangat memungkinkan terjadi suatu keraguan yang
mendalam terhadap agama yang ia anut sendiri. Padahal, agama adalah
bersifat dogmatis dan memang tidak dapat dilogikakan secara sederhana.
Hal-hal
di atas menemukan bahwa adanya keterbatasan dan kecacatan dari logika
itu sendiri. Ia tidak dapat mejawab alasan-alasan dari perintah agama
yang harus dilaksanakan oleh kaum yang beriman. Keimana akan lebih
sesuai jika dirasakan oleh hati, benda yang langsung tersentuh oleh
sang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Banyak bukti keberadaan Tuhan,
namun tidak dapat ditentang oleh logika manusia. Jangankan untuk itu,
untuk menyamakan kebenaran dari kesimpulan sehingga kesimpulan tersebut
adalah objektif, akal atau logika mansia pun tidak mampu. Menjadi
masalah besar adalah saat ini banyak manusia yang mendewakan logika dan
akal, seakan-akan akal adala sumber dari segala kebenara, melebihi
agama. Mereka tidak menggungakan iman sebagai landasan berfikir
Akal
adalah pemberian Tuhan untuk digunakan manusia menjawab segala yang
terjadi dan mengembangkan peradaban pada tahap yang lebih tinggi dan
sejahtera. Namun sayangnya, iman kepada tuhan tidak menjadi landasan
bagi mereka. Mereka mengambil segala kerasionalan yang dianggap oleh
mereka adalah rasional dan benar, lalu meninggalkan segala bentuk yang
irasional. Maka terbentuklah lingkungan sekuler diantara manusia.
Ketika keimanan telah menjadi landasan dalam berfikir, maka akal
manusia akan dapat membangun peradaban manusia yang ideal. Itulah
tempat sebenarnya akal itu berada dan memiliki fungsi yang sebenarnya.
It's Me
SCIENTIFICA
MOTIVATION - KONTEMPLASI
SHORT STORY - NOVEL
INDONESIAN TERM
GALA VIDEO - MARIO TEGUH
Logika Dan Agama
Kamis, 10 Februari 2011
Diposting oleh
wardan
di
13.52
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar