Hidup yang tak terrefleksi adalah hidup yang tak pantas dijalani klik di sini

Fenomena Kenabian dan Wahyu, Basis Rasional Keyakinan Keagamaan

Rabu, 09 Februari 2011

Menurut Malik fenomena keagamaan merupakan kenyataan antropologis dalam sejarah manusia. Manusia selalu bergulat dengan problem spiritual, metafisika dalam setiap periode sejarahnya. Dari suku sederhana di masa lampau dan modern, hingga peradaban-peradaban kuno dan modern, agama tetaplah merupakan fenomena dalam kehidupan mereka. Mengutip satu pernyataan sosiologis, Bennabi menegaskan bahwasanya manusia adalah makhluk religius (homo religious) dalam esensinya. Pertentangan antara agama dan ilmu pengetahuan yang didengungkan di era modern ini pada dasarnya adalah artifisial. Pada dasarnya, menurut Bennabi, pertentangan itu adalah antara dua agama; antara penjelasan materialistik dan penjelasan teistik terhadap problem-problem metafisika yang ada.

Karena agama adalah fenomena yang built-in dalam kehidupan manusia, kita menjumpai fenomena keagaamaan ini dalam setiap fase kehidupan manusia dalam berbagai variasinya, baik politeisme maupun monoteisme. Monoteisme merupakan fenomena yang menjadi kunci selanjutnya dalam analisis fenomena keberagamaan. Fenomena monoteisme ini terkait dengan gerakan kenabian dan fenomena wahyu sebagai mediumnya.
Basis utama dasar analisisnya adalah fenomenologi dari kedua hal tersebut. Sebuah kejadian yang muncul sekali saja mungkin tidak memiliki signifikansi untuk diiperhatikan untuk diteliti lebih lanjut. Sebuah kejadian mendapatkan justifikasi kepentingannya dari perulangan yang terjadi. Kenabian dan Wahyu tidak bisa dikesampingkan begitu saja, karena kenabian dan wahyu tidak muncul hanya sekali sepanjang sejarah, tetapi ia terjadi berulang kali. Itulah sebabnya kenabian merupakan fenomena. Metodologi ini merupakan inspirasi yang didapat Bennabi dalam surat al Ahqaf ayat 9, “Katakanlah: Aku bukan pembawa pengajaran baru dari para rasul itu, dan aku tidak mengetahui apa yang akan diperbuat dengan aku dan dengan kamu. Aku hanya menurut apa yang diwahyukan kepadaku.”

Untuk memahami Islam, berdasarkan fakta fenomenologis ini, kita dapat memahaminya dalam sorotan agama-agama monoteistik yang lebih dahulu. Karena islam sendiri mengklaim sebagai kelanjutan dari risalah-risalah terdahulu. Dengan demikian klaim kebenaran islam memiliki basisnya dalam kesamaan pesan dan kesamaan fenomena pembawa pesannya dengan agama-agama monoteis terdahulu.

Karena fenomena agama monoteis terkait dengan fenomena kenabian maka perlu dipahami karakteristik dari fenomena tersebut sehingga dapat ditentukan standar utama dari klaim kenabian yang sebenarnya. Tentu saja sebelumnya kita harus memastikan keotentikan sumber historis dari riwayat yang diterima. Berdasarkan pemikiran ini, Bennabi kemudian meneliti kasus Kenabian Jeremiah dan mengkontraskannya dengan klaim-klaim palsu kenabian [pseudo-profethood] mereka yang sejaman dengan Jeremiah. Pemilihan kasus Kenabian Jeremiah ini berdasarkan kenyataan sejarah bahwa dokumen sejarah [Kitab Jeremiah] berdasarkan studi biblikal dinyatakan sebagai satu-satunya dokumen yang paling otentik. Berdasarkan analisisnya terhadap kasus Jeremiah, Bennabi mencirikan fenomena kenabian kedalam tiga karakteristik utama :

   1.

      Adanya faktor psikologis eksternal yang mengeliminasi faktor “aku” lainnya dalam keputusan akhir Nabi mengenai prilaku permanennya. Adanya faktor eksternal yang memaksa sang Nabi untuk menyampaikan pesannya.
   2.

      Penilaian paradoksal mengenai fakta-fakta masa depan, yang diajarkan oleh seusatu yang absolut, tanpa basis logis dalam kejadian kontemporer. Ajaran atau pesan yang disampaikan mengandung unsur-unsur yang di luar nalar temporer untuk mengkonseptualisasikannya.
   3.

      Adanya kontinuias dalam manifestasi kenabian, dengan keserupaan internal dan eksternal pada semua nabi.

Berdasarkan ketiga kriteria tersebut, untuk menilai kasus Islam kita bisa menerapkan penilaian kriteria di atas terhadap Muhammad sebagai Nabi dan Al Quran sebagai pesan yang dibawa. Sebelum melakukan penilaian, sebuah catatan terkait dengan problem teks Quran dan Hadist sebagai sumber sejarah perlu ditegaskan. Quran sebagai dokumen religius merupakan satu-satunya sumber keagamaan yang otentisitasnya terjamin. Hadist sebuah sumber historis memiliki model pengujian yang luar biasa terstruktur sehingga memungkinkan pemilahannya berdasarkan tingkat otentisitasnya.

Kenabian Muhammand

Salah satu kunci untuk memahami kenabian Muhammad sebagai sebuah fenomena di luar kehendak dirinya, karena satu-satunya rujukan yang bisa kita nilai adalah keterangan dirinya maka kita harus mempertimbangkan keyakinan dirinya terhadap fenomena yang datang kepadanya (kenabian/wahyu). Kriteria untuk menilai keyakinan dirinya dapat dibagi menjadi kriteria fenomenal dan kriteria rasional. Kriteria fenomenal terkait dengan bagaimana wahyu turun, kapan waktunya. Kriteria ini memberikan basis objektif bagi fenomena tersebut.Kriteria rasional terkait bagaimana usaha yang dilakukan Muhammad untuk meyakinkan dirinya terkait dengan fenomena yang dialaminya. Keyakinan pribadi ini dapat diafirmasi dalam kehidupan pribadinya, sejarah perjuangannya. Sisi lain dalam upaya memahami secara nalar kenabian Muhammad adalah bagaimana ia membedakan secara tegas mana yang merupakan wahyu dan mana yang merupakan pemikiran pribadi/subjektifnya.

Risalah Quran

Karakteristik utama dari fenomena Quran adalah berangsur-angsurnya proses pewahyuannya dan unit kuantitatifnya. Keberangsuran pewahyuannya mengafirmasi keberulangan kejadiannya dalam rentang waktu dua puluh tiga tahun. Keberangsuran pewahyuan ini juga merupakan sarana pedagogis kelahiran sebuah agama dan pembentukan sebuah peradaban. Unit kuantitatif pewahyuan berwariasi dari ayat hingga satu surat. Pemeriksaan terhadap unit kuantitatif wahyu ketika diturunkan mengafirmasi kondisi “reseptivitas” Muhammad terhadap turunnya wahyu itu. Unit kuantitatif ini juga kadangkala membawa konsepsi yang sepenuhnya tidak dimengerti selama periode/ masa itu. Demikian pula dengan aspek mukjizat sastranya.

Perbandingan juga dapat dilakukan terhadap pokok-pokok pesan Al Quran dan Bible untuk melihat kesamaan beberapa pokok pesannya terkait dengan masalah metafisika (ketuhanan), eskatologi (hari akhir), kosmologi, moralitas. Tentu saja dengan menekankan perbedaan atau kritik Quran terhadap Bible yang sekarang ada. Bennabi lebih lanjut mengkomparasikan kisah Yusuf dalam Quran dan Bible.

Lebih lanjut kita dapat mempelajari lebih lanjut aspek-aspek koreksi terhadap pribadi Nabi dalam Quran terkait dengan peristiwa-peristiwa yang dialami, aspek metafora dalam Quran dan antisipasi Quran terhadap fenomena ilmiah modern. Hal ini menunjukkan Quran sebagai fenomena wahyu.

Risalah Pembanding

Dalam pengantarnya untuk buku Bennabi ini, Muhammad Abdullah Draz menyatakan rasa kegembiraannya dalam membaca karya Bennabi ini, sebagian disebabkan karena keyakinannya terhadap upaya penyelidikan serius seringkali menghantarkan pencari kebenaran yang saling independen pada kesimpulan yang identik atau serupa. Berdasarkan hal ini kita bisa memberikan perbandingan terhadap risalah Bennabi ini dengan risalah yang ditulis oleh Abdullah Draz. Karyanya An Naba’ Al Azhim [The Quran, An Eternal Challenge] yang merupakan kuliah-kuliah yang disampaikannya di Al Azhar menangani problem yang identik dengan yang ditangani oleh risalah Bennabi.

Draz memulai bukunya dengan menjelaskan definisi tradisional Quran, dengan membedakannya dengan hadist dan hadist qudsi. Kemudian mulai mendiskusikan isu mengenai sumber Quran. Di sini ia mendiskusikan mengenai psikologi plagiat dan atribusi sebuah karya terhadap diri seseorang, hal ini merupakan kontra dari apa yang terjadi terhadap Muhammad yang mengatribusikan apa yang dia terima [wahyu] kepada Tuhan. Ia juga mendiskusikan mengenai situasi turunnya wahyu yang diluar kehendak dirinya, koreksi wahyu terhadap apa yang dilakukannya, serta mengenai nubuat [prediksi-prediksi masa depan] Quran mengenai dakwah Muhammad, masa depan para penentang dakwah dan isu-isu tertentu. Setelah menegaskan semua ini, Draz berusaha menjawab pertanyaan mengenai guru Muhammad, dengan menegaskan ketidakvalidan adanya guru personal yang mengajarkan wahyu berdasarkan pertimbangan-pertimbangan muatan pesan Quran yang tidak bisa diafirmasi sebagai produk pemikiran manusia. Sehingga guru satu-satunya yang mungkin adalah guru yang ghaib, malaikat Jibril yang membawa pesan Allah SWT.

Kemudian Draz memberikan deskripsi yang mendetail mengenai aspek kemukjizatan Quran dalam sastra. Dimulai dari diskusi mengenai mukjizat suara, pilihan kata, susunan ayat, pasasi ayat-ayat, surah dan keseluruhan Quran. Di sini dia menjelaskan keharmonisan susunan kata, ayat dan surat dalam Quran. Secara khusus ia menganalisis surat Al Baqarah untuk mendeskripsikan keharmonisan, koherensi antar ayat-ayat dan tema-tema di dalamnya dalam struktur yang indah.

Pada dasarnya kita melihat metodologi yang serupa dengan risalah Fenomena Quran-nya Bennabi, dalam menganalisis basis bagi kebenaran Quran, yaitu dengan pemahaman yang jelas mengenai pribadi penerima wahyu [Muhammad] dan studi mendalam mengenai pesan yang diterimanya [Quran].

Referensi

Fenomena Al Qur’an, Malik bin Nabi, PT Al Ma’arif. Bandung. 1983 [Terj. Azzhahirah Quraniyah].

Fenomena Al Qur’an, Pemahaman Baru Kitab Suci Agama-Agama Ibrahim. Malik Ben Nabi. Penerbit Marja’. Jakarta.2002. [Terj. The Quranic Phenomenon, 1983].

The Qur’anic Phenomenon, an essay of a theory on the Qur’an. Malik Bennabi. Islamic Book Trust. Kuala Lumpur. 2001.

The Quran : An Eternal Challenge. Muhammad Abdullah Draz. The Islamic Foundation. United Kingdom. 2001

Artikel Terkait



0 komentar:

momentum © 2010 Template by:
Wardaniyanto Dot Com