Periodesasi Berlakunya UUD di
Indonesia
Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, atau disingkat UUD 1945 atau UUD
'45, adalah konstitusi negara Republik Indonesia saat ini.
UUD 1945 disahkan sebagai undang-undang dasar negara oleh PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945. Sejak tanggal 27 Desember 1949, di Indonesia berlaku Konstitusi RIS, dan sejak tanggal 17 Agustus 1950 di Indonesia berlaku UUDS 1950. Dekrit Presiden 5 Juli 1959 kembali memberlakukan UUD 1945, dengan dikukuhkan secara aklamasi oleh DPR pada tanggal 22 Juli 1959.
UUD 1945 disahkan sebagai undang-undang dasar negara oleh PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945. Sejak tanggal 27 Desember 1949, di Indonesia berlaku Konstitusi RIS, dan sejak tanggal 17 Agustus 1950 di Indonesia berlaku UUDS 1950. Dekrit Presiden 5 Juli 1959 kembali memberlakukan UUD 1945, dengan dikukuhkan secara aklamasi oleh DPR pada tanggal 22 Juli 1959.
Undang-Undang
Dasar Sementara Republik Indonesia Serikat, atau lebih dikenal dengan UUD RIS
atau Konstitusi RIS adalah konstitusi yang berlaku di negara Republik Indonesia
Serikat sejak tanggal 27 Desember 1949 (yakni tanggal diakuinya kedaulatan
Indonesia dalam bentuk RIS) hingga diubahnya kembali bentuk negara federal
(RIS) menjadi negara kesatuan pada tanggal 17 Agustus 1950.
Sejak
tanggal 17 Agustus 1950, konstitusi yang berlaku di Indonesia adalah
Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia, atau dikenal dengan sebutan
UUDS 1950.
Republik
Indonesia Serikat, disingkat RIS, adalah suatu negara federasi yang berdiri
pada tanggal 27 Desember 1949 sebagai hasil kesepakatan tiga pihak dalam
Konferensi Meja Bundar: Republik Indonesia, Bijeenkomst voor Federaal Overleg
(BFO), dan Belanda. Kesepakatan ini disaksikan juga oleh United Nations
Commission for Indonesia (UNCI) sebagai perwakilan PBB.
Bangsa
Indonesia yang terlahir sebagai sebuah negara yang merdeka dan berdaulat
sesungguhnya menghendaki sebuah negara kesatuan. Oleh karena itu, negara
federal atau federasi seperti yang dibentuk berdasarkan perjanjian Konferensi
Meja Bundar yang dikuatkan dengan diberlakukannya Konstitusi RIS tidak dapat
bertahan lama. Beberapa negara bagian akhirnya meminta bangsa Indonesia yang
terpecah belah dalam Republik Indonesia Serikat kembali ke negara
kesatuan Republik Indonesia.
Dibentuknya
kembali Negara Kesatuan Republik Indonesia disepakati pada 19 Mei 1950. Negara
kesatuan yang baru didirikan kembali jelas memerlukan Undang-Undang Dasar
(UUD). Setelah itu, dibentuklah suatu Panitia bersama yang menyusun rancangan
Undang-Undang Dasar. Rancangan UUD itu disusun oleh Badan Pekerja Komite
Nasional Pusat dan oleh Dewan Perwakilan Rakyat serta Senat RIS. UUD yang baru
berlaku pada 17 Agustus 1950.
Undang-Undang
Dasar 1950 seperti Konstitusi RIS juga bersifat sementara oleh karenanya
disebut UUDS 1950. Hal ini dijelaskan dalam Pasal 134. Dalam pasal tersebut dinyatakan
bahwa Konstituante bersama dengan pemerintah menyusun UUD Republik Indonesia
yang akan menggantikan UUD yang berlaku pada saat itu (UUDS 1950).
Undang-Undang Dasar
Sementara (UUDS) 1950 berhasil mem bentuk Konstituante melalui pemilu pada
Desember 1955. Pada 10 November 1956 di Bandung diresmikanlah Konsti tuante.
Setelah dua setengah tahun Konstituante terbentuk, Konstituante belum dapat
menyelesaikan tugasnya. Kegagalan Konstituante untuk membentuk UUD disebab kan
karena Konstituante tidak pernah mencapai suara quorum atau 2/3 suara,
untuk mencapai keputusan seperti yang ditentukan dalam UUDS 1950. Hal ini terjadi karena ada
perbedaan pendapat yang sangat tajam antara golongan Islam dan golongan
nasionalis yang tidak dapat dipertemukan.
Untuk mengatasi
kebuntuan di Konstituante, Presiden pada 22 April 1959 memberikan amanatnya
dalam sidang Pleno Konsti tuante. Amanatnya berisi anjuran agar Konstituante
menetapkan UUD 1945 sebagai UUD yang tetap bagi Republik Indonesia. Namun,
setelah diadakan beberapa kali persidangan dan pemungutan suara, ketentuan quorum
tidak dapat tercapai. Pemungutan suara untuk melaksanakan anjuran Presiden
dilak sanakan Konstituante tiga kali berturut-turut dengan hasil sebagai
berikut.
1) Pemungutan suara I, tanggal 30 Mei
1959 hadir 478 anggota, setuju 269, dan tidak setuju 199.
2) Pemungutan suara II, tanggal 1 Juni
1959 hadir 469 anggota, setuju 264, dan tidak setuju 204.
3) Pemungutan suara III, tanggal 2
Juni 1959 hadir 469 anggota, setuju 263, dan tidak setuju 203.
Kemandegan Konstituante dalam menyusun
UUD dan situasi tanah air pada waktu itu mendorong Presiden Soekarno
untuk menge luar kan dekrit pada 5 Juli 1959. Isi dari Dekrit Presiden 5 Juli
1959, yaitu sebagai berikut:
1) Pembubaran Konstituante
2) UUD 1945 berlaku kembali
3) UUDS 1950 tidak berlaku lagi
4) Dibentuknya MPRS dan DPAS
Periode berlakunya kembali UUD 1945 Juli 1959 -
Maret 1966
Pada masa ini, terdapat berbagai penyimpangan UUD
1945, diantaranya:
- Presiden mengangkat Ketua dan Wakil Ketua MPR/DPR dan MA serta Wakil Ketua DPA menjadi Menteri Negara
- MPRS menetapkan Soekarno sebagai presiden seumur hidup
- Pemberotakan Partai Komunis Indonesia melalui Gerakan 30 September PKI
Dekret Presiden 1959 dilatarbelakangi
oleh kegagalan Badan Konstituante untuk menetapkan UUD baru sebagai pengganti UUDS 1950.
Anggota konstituante mulai bersidang pada 10 November 1956. Namun pada
kenyataannya sampai tahun 1958 belum berhasil merumuskan UUD yang diharapkan. Sementara, di
kalangan masyarakat pendapat-pendapat untuk kembali kepada UUD '45 semakin kuat. Dalam
menanggapi hal itu, Presiden Soekarnola n t a s menyampaikan amanat di depan sidangK o n s t it u a n t e pada 22 April 1959 yang isinya
menganjurkan untuk kembali ke UUD '45.
Pada 30 Mei
1959 Konstituantem e la k s a n a k a n pemungutan suara. Hasilnya 269 suara menyetujui UUD
1945 dan 199 suara tidak setuju. Meskipun yang menyatakan setuju lebih banyak
tetapi pemungutan suara ini harus diulang, karena jumlah suara tidak
memenuhi kuorum. Kuorum adalah jumlah minimum anggota yg harus hadir di rapat, majelis, dan sebagainya
(biasanya lebih dari separuh jumlah anggota) agar dapat mengesahkan
suatu putusan. Pemungutan
suara kembali dilakukan pada tanggal 1 dan 2 Juni 1959. Dari pemungutan suara
ini Konstituante juga gagal mencapai kuorum. Untuk meredam kemacetan, Konstituante memutuskan reses (masa perhentian sidang
[parlemen]; masa istirahat dari kegiatan bersidang) yang ternyata merupakan
akhir dari upaya penyusunan UUD.
Pada 5 Juli 1959 pukul
17.00, PresidenS o e k a r n o mengeluarkan dekret yang diumumkan
dalam upacara resmi di Istana Merdeka.
Isi dari Dekret tersebut antara lain :
1. Pembubaran Konstituante
2. Pemberlakuan kembali UUD '45
dan tidak berlakunya UUDS 1950
3. PembentukanM P R Sd a n
D P A S dalam waktu yang sesingkat-singkatnya
DEKRIT Presiden 5
Juli 1959 adalah dckret yang dikeluarkan oleh Presiden Indonesia yang pertama.
Soekarno pada 5 Juli 1959. Isi dekrit yang dikeluarkan Soekarno pukul 17.00 WIB
dalam upacara resmi di Istana Merdeka, berisi antara lain Pembubaran
Konstituante, Pemberlakuan
kembali UUD 1945 dan tidak berlakunya UUDS 1950 serta pembentukan MPRS dan DPAS
dalam waktu yang sesingkat-singkatnya. Dekrit ini dilatarbelakangi oleh
kegagalan Badan Konstituante untuk menetapkan UUD baru sebagai pengganti UUDS
1950. Anggota konsti-tuante mulai bersidang pada 10 November r956. Namun pada kenyataannya
sampai tahun 1958 belum berhasil merumuskanUUD yang diharapkan. Sementara, di kalangan masyarakat pendapat-pendapat untuk
kembali kepada UUD 45 semakin kuat.
Dalam menanggapi hal itu. Presiden
Soekarno lantas menyampaikan amanat di depan sidang Konstituante pada 22 April
1959 yang isinya me-nganjurkan untuk kembali ke UUD 1945. Pada 30 Mei 1959
Konstituante melaksanakan pemungutan suara. Hasilnya 269 suara menyetujui UUD 1945 dan 199 suara lidak setuju. Meskipun yang
menyatakan setuju lebih banyak tetapi pemungutan suara ini harus diulang,
karena jumlah suara tidak memenuhi kuorum. Pemungutan suara kembali
dilakukan pada tanggal 1 dan 2 Juni 1959. Dari pemungutan suara ini
Konstituante juga gagal mencapai kuorum. Untuk meredam kemacetan. Konstituante memutuskan reses (masa perhentian sidang parlemen)
yang temyata merupkan akhir dari upaya penyusunan UUD. Seperti diketahui, era 1950-1959 adalah era
Presiden Soekarno memerintahmenggunakan
konstitusi
Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia 1950. Periode ini berlangsung mulai dari 17 Agustus 1950
sampai 6 Juli 1959. Pada masa Ini terjadi
banyak pergantian kabinet diakibatkan situasi politik yang tidak stabil.
Tercatat ada tujuh kabinet pada masa ini. yakni 1950-1951 (Kabinet Natsir).
1951-1952 (Kabinet Sukiman-Suwirjo). 1952-1953 (Kabinet Wilopo),
1953-1955 (Kabinet Ali Sastroamidjojo I). 1955-1956
(Kabinet Burhanuddin Harahap). 1956-1957 (Kabinet Ali Sastroamidjojo II). 1957-
1959 (Kabinet Djuanda).DEKRIT ini merupakan keputusan Presiden Soekarno
membubarkan lembaga tertinggi negara Konstituante, hasil pemilihan umum 1955.
Lembaga itu dianggapnya gagal menghasilkan konstitusi
baru untuk menggantikan Undang-Undang Dasar Sementara 1950. Saat itu terjadi perbedaan
pandangan ideologi yang menajam antaranggota Konstituante mengenai dasar
negara, apakah berdasarkan agama atau bukan.
Dekrit ini mengakhiri perbedaan itu dan dianggap sebagian kalangan sebagai
penyelamatan negara. Namun, ini bukannya tanpa masalah. Keputusan
kembali ke Undang-Undang Dasar 1945 itu membajak demokrasi karena akhirnya memunculkan demokrasi terpimpin. Kekuasaan negara
jadi terpusat dan tepersonifikasi dalam sosok Soekarno. Ide ini juga tampaknya
menginspirasi Presiden Abdurrahman Wahid saat dia mengeluarkan dekrit
membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat dan Majelis Permusyawaratan
Rakyat pada 2001.
Periode UUD 1945 (5 Juli
1959–Sekarang)
Dikeluarkannya
Dekrit Presiden 5 Juli 1959 merupa kan solusi atas kebuntuan Konstituante.
Bangsa dan negara Indonesia kembali menggunakan UUD 1945 sebagai pedoman dasar
dalam penyeleng garaan dan ke hidupan bernegara. Terlepas dari penyimpangan
terhadap UUD 1945 yang pernah dilakukan Orde Lama dan Orde Baru, UUD 1945
menjadi Konstitusi negara yang tetap berlaku sampai sekarang ini.
Pada 1985 melalui
Undang-Undang No. 5 Tahun 1985 tentang Referendum, pemerintah mengubah
ketentuan untuk perubahan UUD 1945. Ketentuannya adalah untuk mengubah UUD 1945
harus dilakukan dengan persetujuan rakyat atas kehendak MPR. UUD 1945 yang
dibuat oleh BPUPKI dan ditetapkan oleh PPKI belum mendorong MPR untuk kembali
menetapkan UUD 1945. Ketentuan tentang Referendum jika dikaji dan dihubungkan
dengan Pasal 37 UUD 1945 jelas me nunjuk kan suatu penafsiran yang berbeda.
Berdasarkan pemahaman tersebut, MPR melalui ketetapan MPR No. VIII/MPR/1998
mencabut ketentuan referendum sebagai salah satu tahap untuk mengubah UUD 1945.
Sejak tahun 1999 sampai dengan tahun 2004, MPR telah mengamandemen
(mengubah/menambah) UUD 1945 sebanyak empat kali. Dengan telah ditetapkannya (Amandemen)
dan dengan ditetapkan ketentuan Pasal 3 ayat (1) bahwa MPR berwenang mengubah
dan menetapkan UUD 1945. Adapun hasil perubahan UUD 1945 yang keempat terdiri
atas 21 bab, 73 pasal, 170 ayat, 3 pasal aturan peralihan dan 2 ayat aturan
tambahan.
Periode
1966-1998 (Orde Baru)
Pada masa Orde Baru (1966-1998), Pemerintah menyatakan
akan menjalankan UUD 1945 dan Pancasila secara murni dan konsekuen. Namun
pelaksanaannya ternyata menyimpang dari Pancasila dan UUD 1945 yang murni,
terutama pelanggaran pasal 23 (hutang Konglomerat/private debt dijadikan beban
rakyat Indonesia/public debt) dan pasal 33 UUD 1945 yang memberi kekuasaan pada
pihak swasta untuk menghancur hutan dan potensi kekayaan alam kita.
Pada masa Orde
Baru, UUD 1945 juga menjadi konstitusi yang sangat “sakral”, diantara melalui
sejumlah peraturan:
- Ketetapan MPR Nomor I/MPR/1983 yang menyatakan bahwa MPR berketetapan untuk mempertahankan UUD 1945, tidak berkehendak akan melakukan perubahan terhadapnya
- Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1983 tentang Referendum yang antara lain menyatakan bahwa bila MPR berkehendak mengubah UUD 1945, terlebih dahulu harus minta pendapat rakyat melalui referendum.
- Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1985 tentang Referendum, yang merupakan pelaksanaan TAP MPR Nomor IV/MPR/1983.
Periode 21 Mei 1998 – 19 Oktober 1999 dikenal dengan masa
transisi. Salah satu tuntutan Reformasi 1998 adalah dilakukannya perubahan
(amandemen) terhadap UUD 1945. Latar belakang tuntutan perubahan UUD 1945
antara lain karena pada masa Orde Baru, kekuasaan tertinggi di tangan MPR (dan
pada kenyataannya bukan di tangan rakyat), kekuasaan yang sangat besar pada
Presiden, adanya pasal-pasal yang terlalu “luwes” (sehingga dapat menimbulkan
mulitafsir), serta kenyataan rumusan UUD 1945 tentang semangat penyelenggara
negara yang belum cukup didukung ketentuan konstitusi.
Tujuan perubahan UUD 1945 waktu itu adalah menyempurnakan
aturan dasar seperti tatanan negara, kedaulatan rakyat, HAM, pembagian
kekuasaan, eksistensi negara demokrasi dan negara hukum, serta hal-hal lain
yang sesuai dengan perkembangan aspirasi dan kebutuhan bangsa saat itu.
Perubahan UUD
1945 dengan kesepakatan diantaranya tidak mengubah Pembukaan UUD 1945, tetap
mempertahankan susunan kenegaraan (staat structuur) kesatuan atau selanjutnya
lebih dikenal sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), serta
mempertegas sistem pemerintahan presidensil.
Dalam kurun
waktu 1999 - 2002, UUD 1945 mengalami 4 kali perubahan yang ditetapkan dalam
Sidang Umum dan Sidang Tahunan MPR:
1. Sidang Umum MPR 1999, tanggal 14-21 Oktober 1999, Perubahan Pertama
UUD 1945
2. Sidang Tahunan MPR 2000, tanggal 17-18 Agustus 2000, Perubahan Kedua
UUD 1945
3. Sidang Tahunan MPR 2001,
tanggal 1-9 November 2000, Perubahan Ketiga UUD 1945.
4. Sidang Tahunan MPR 2002, tanggal
1-11 Agustus 2002, Perubahan Keempat UUD 1945
Hingga perubahan keempat UUD 1945,
lembaga negara yang diatur antara lain : BPK, MPR yang terdiri dari DPD dan DPR
sebagai lembaga legislatif, Presiden dan Wapres sebagai lembaga eksekutif, dan
Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial sebagai lembaga
yudikatif. (***)
0 komentar:
Posting Komentar