Konstitusi berasal dari bahasa Latin, yaitu constitution yang
diartikan sebagai keseluruhan peraturan, baik yang tertulis, maupun tidak
tertulis. Selain itu konstitusi juga mengatur tata cara yang mengikat bagaimana
suatu pemerintah menyeleng garakan pemerintahan dalam suatu negara. Kons titusi
sebagai naskah tertulis atau yang hanya diartikan sebagai Undang-Undang Dasar
(UUD) merupakan undang-undang tertinggi yang berlaku dalam suatu negara. Secara isi (materi) konstitusi dalam
bentuk UUD merupakan peraturan yang bersifat mendasar. Hal ini berarti
konsitusi hanya memuat hal-hal yang bersifat pokok, dasar, atau asas-asas saja.
Menurut Usep
Ranawidjaya (pakar hukum tata negara), konstitusi memiliki dua
pengertian, yaitu konsti – tusi dalam arti luas dan konstitusi dalam arti
sempit. Konstitusi dalam arti luas mencakup segala ketentuan yang berhubungan
dengan keorganisasian negara, baik yang terdapat dalam Undang-Undang Dasar,
Undang-Undang organik, per aturan per undangan lainnya, maupun kebiasaan atau
konvensi. Konstitusi dalam arti sempit dapat diartikan Undang-Undang Dasar
saja. Konstitusi memiliki dua sifat, yaitu luwes (flexible) atau kaku
(rigid), dan tertulis atau tidak tertulis. Oleh karena itu, untuk
menentukan suatu konstitusi bersifat luwes atau kaku dapat dinilai dari cara
mengubah konstitusi, apakah konstitusi itu mudah atau tidak mengikuti
perkembangan zaman?
Konstitusi pada hakikatnya adalah suatu hukum
dasar yang merupakan dasar bagi peraturan perundangan lainnya. Oleh karena itu
bagi negara yang menganggap bahwa konstitusi tidak dapat diubah dengan cara
yang mudah maka konstitusi tersebut dapat dianggap sebagai konstitusi yang kaku
(rigid). Adapun bagi negara yang menganggap bahwa pengubahan
konstitusi tidak perlu dilakukan secara istimewa, yaitu cukup dilakukan oleh
lembaga pembuat undang-undang maka negara tersebut menerapkan konstitusi yang
luwes. Dengan demikian, untuk menilai bahwa suatu konstitusi itu luwes atau
kaku dapat dilakukan dengan menilai apakah suatu konstitusi tersebut mudah atau
tidak mengikuti perkembangan zaman.
Konstitusi yang mudah
mengikuti per kembangan zaman biasanya mengatur hal-hal pokok dalam bernegara.
Hal ini disebabkan peraturan yang bersifat khusus biasanya diatur oleh
peraturan yang lebih rendah derajatnya dan lebih mudah membuatnya. Jadi,
konstitusi yang bersifat luwes adalah konstitusi yang mampu mengikuti
perkembangan zaman.
Undang-Undang Dasar 1945
sebagai konstitusi atau hukum dasar tertinggi bangsa Indonesia adalah
konstitusi yang dapat digolongkan kaku dan luwes. UUD 1945 dikatakan kaku
karena untuk mengubah UUD itu bukanlah hal yang mudah. Hal ini terlihat dalam
Pasal 37 ayat 1 UUD 1945 yang mensyaratkan bahwa untuk mengubah Undang-Undang
Dasar sekurang-kurangnya 2/3 daripada jumlah anggota Majelis Permusyawaratan
Rakyat harus hadir. Sejak tahun 1999 MPR telah mengadakan perubahan (Amandemen)
terhadap UUD sebanyak empat kali. UUD 1945 juga dapat digolongkan sebagai
konstitusi yang luwes, jika ditinjau bahwa UUD 1945 hanya mengatur hal-hal yang
pokok dan pengaturan nya ditentukan oleh peraturan yang lebih rendah
derajatnya.
Sifat konstitusi kedua adalah
konstitusi yang tertulis atau tidak tertulis. Konstitusi dinyatakan tertulis,
jika ditulis dalam suatu naskah atau beberapa naskah. Konstitusi dinyatakan
tidak tertulis, jika ketentuanketentuan yang mengatur suatu pemerintahan tidak
tertulis dalam suatu naskah tertentu, melainkan dalam suatu konvensi atau
Undang-Undang biasa. Satu-satunya negara di dunia yang menerapkan konstitusi
tidak tertulis adalah negara Inggris. Undang-undang Inggris, yaitu Bill of
Rights.
Konstitusi di Suatu Negara
Semua negara di dunia memiliki
konstitusi dan hampir semua negara memiliki konstitusi tertulis dan sebagian
kecil saja memiliki konstitusi tidak tertulis. Konsti tusi tidak tertulis bukan
berarti konstitusi tersebut tidak ditulis, melainkan konstitusi tersebut tidak
dikodifikasikan (dibukukan) dalam satu naskah tertentu, atau konstitusi
tersebut hanya dibuat dalam undangundang biasa. Indonesia, Amerika, Belanda,
dan negara lain di dunia memiliki konstitusi dalam bentuk tertulis.
Konstitusi dalam arti sempit diartikan sebagai
Undang-Undang Dasar (hukum dasar). Dalam perkembangannya, konstitusi di banyak
negara adalah konstitusi yang selalu dapat mengikuti perkembangan masyarakat.
Oleh karena itu, agar dapat mengikuti perkembangan masyarakat maka konstitusi
tersebut harus dapat diubah dan hanya mengatur hal-hal yang sifatnya pokok.
Konstitusi dalam arti UUD
selalu menempatkan satu pasal tentang pengubahan UUD tersebut. Dalam UUD 1945
terdapat pasal yang memberikan tempat ter hadap pengubahan. Pengubahan UUD
menurut Sri Soemantri (pakar hukum tata negara) dapat me
ngandung dua tujuan, yaitu:
a. mengubah sesuatu yang telah diatur dalam UUD/
konstitusi;
b. menambahkan sesuatu yang belum diatur dalam
UUD/konstitusi.
Pengubahan UUD dalam pelaksanaannya tidak semudah
seperti mengubah undang-undang biasa. Berdasarkan pendapat C. F. Strong
(pakar hukum tata negara) yang kemudian dikutip oleh Sri
Soemantri (pakar hukum tata negara) dikemukakan bahwa untuk mengubah
konstitusi dapat dilakukan oleh:
a. kekuasaan legislatif, tetapi dengan
pembatasan-pembatasan tertentu;
b. rakyat melalui suatu referendum;
c. sejumlah negara bagian (untuk negara serikat);
d. kebiasaan ketatanegaraan atau oleh suatu
lembaga negara yang khusus dibentuk hanya untuk perubahan.
Dalam catatan sejarah dunia, tahun 1814,
1848, dan 1972, Belanda telah mengalami perubahan konstitusi yang dilakukan
oleh Staten General Parlement. Ini menandakan di tahun tersebut telah
dimulainya peninjauan kembali produk keputusan (legal review) yang dilakukan
oleh lembaga diluar yudisial.
Di Indonesia sendiri, sejak berdiri yakni
diikrarkannya proklamasi, telah mengalami beberapa kali perubahan UUD yaitu,
UUD 1945, UUD RIS, UUDS 1950, UUD 1945 Amandemen I tahun 1999, UUD 1945
Amandemen II tahun 2000, UUD 1945 Amandemen III tahun 2001, dan UUD 1945
Amandemen IV tahun 2002. Selain legislative review tersebut, legal review
dilakukan juga lembaga eksekutif, atau eksecutive review atas beberapa
Peraturan Daerah/Lokal yang dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri, Menteri
Keuangan, bahkan oleh Gubernur, maupun Bupati/Walikota.
Legislative Review
Periode UUD 1945
Pernyataan kemerdekaan Indonesia yang ditandai
dengan proklamasi Kemerdekaan RI 17 Agustus 1945 ialah suara rakyat Indonesia
kepada dunia, bahwa bangsa Indonesia telah merdeka dan berdaulat. Inilah momen
dimulainya Republik Indonesia mengurus dan mengatur rumah tangganya sendiri.
Sehari kemudian, 18 Agustus, ditetapkannya UUD negara yang kemudian dikenal
dengan UUD 1945.
Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan
(BPUPK) yang dibentuk pada tanggal 29 April 1945, adalah Badan yang menyusun
rancangan UUD 1945. Pada masa sidang pertama yang berlangsung dari tanggal 28
Mei sampai dengan tanggal 1 Juni 1945 Ir.Sukarno menyampaikan gagasan tentang
“Dasar Negara” yang diberi nama Pancasila. Kemudian BPUPK membentuk Panitia
Kecil yang terdiri dari 8 orang untuk menyempurnakan rumusan Dasar Negara. Pada
tanggal 22 Juni 1945, 38 anggota BPUPKI membentuk Panitia Sembilan yang terdiri
dari 9 orang untuk merancang Piagam Jakarta yang akan menjadi naskah Pembukaan
UUD 1945. Setelah dihilangkannya anak kalimat “dengan kewajiban menjalankan
syariah Islam bagi pemeluk-pemeluknya” maka naskah Piagam Jakarta menjadi
naskah Pembukaan UUD 1945 yang disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945 oleh
Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Pengesahan UUD 1945 dikukuhkan
oleh Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP, parlemean saat itu) yang bersidang
pada tanggal 29 Agustus 1945. Naskah rancangan UUD 1945 Indonesia disusun pada
masa Sidang Kedua Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK). Nama
Badan ini tanpa kata “Indonesia” karena hanya diperuntukkan untuk tanah Jawa
saja. Di Sumatera ada
BPUPK untuk Sumatera. Masa Sidang Kedua tanggal 10-17 Juli 1945. Tanggal 18
Agustus 1945, PPKI mengesahkan UUD 1945 sebagai Undang-Undang Dasar Republik
Indonesia.
Dalam UUD 1945, lembaga-lembaga negara yang diatur antara lain : MPR,
MA, DPA, Presiden, BPK, dan DPR.
Periode Konstitusi RIS
Tahun 1949, dengan menurutkan turun naiknya
gelombang Revolusi Indonesia, maka sesudah politik Belanda hendak meruntuhkan
Republik Indonesia dengan menjalankan aksi militer sampai dua kali dengan
besar-besaran, maka berkat kuatnya persatuan antara republik Indonesia dengan
daerah-daerah de facto Belanda di luar daerah republik tercapailah persetujuan
pada tanggal 22 Juli 1949 dalam Kongres Antara Indonesia di Kota Yogyakarta
hendak mendirikan Republik Indonesia serikat berdasarkan Demokrasi dan
Federalisme. Negara Persatuan Federal ini adalah untuk sementara dan hanyalah
sekedar untuk memungkinkan membentuk suatu negara Persatuan Indonesia yang
meliputi segenap Tanah Air dan Bangsa Indonesia, sedangkan pertukaran dasar
federalisme menuju dasar unitarime akan dilanjutkan sebagai perubahan dalam
negeri antara Indoensia dengan Indonesia, diluar campuran Belanda. (Muhammad
Yamin, 1982: 39)
Pada konferensi ini ditetapkan pula, bahwa yang
menjadi Presiden Federal akan dipilih oleh negara-negara bagian dan daerah
bagian yang lain; begitupula dalam konferensi itu ditetapkan tentang
pembentukan Mahkamah Agung, dan garis besar mengenai kewarganegaraan Indonesia.
Tentang hak kemanusiaan kan dituruti Universal Declaration of Human Rights,
seperti ditetapkan oleh sidang Persekutuan Bangsa-Bangsa tanggal 10 Desember
1948.
Tanggal 29 oktober 1949 ditandatanganilah
Piagam Persetujuan di banda Scheveningen, sebagai tanda paraf atas Konstitusi
RIS oleh Delegasi Republik Indonesia dan seluruh delegasi Permusyawaratan
Federal - BFO (Bijeenkomst voor Federaal Overleg).
Demikianlah karena situasi politik saat itu, UUD
1945 dilakukan review. Rencana Konstitusi Republik Indonesia Serikat disiapkan
oleh kedua delegasi Indonesia dan pertemuan untuk Permusyawaratan Federal
(Bijeenkomst voor Federaal Overleg) selama sidang-sidang Konferensi Meja
Bundar. Pada Desember 1949 setelah disetujui oleh Sidang Pleno Komite Nasional
Pusat dan badan-badan perwakilan dari daerah-daerah bagian lainnya. Wakil
Pemerintah Republik Indonesia dan wakil-wakil Pemerintah Daerah menyetujui
Konstitusi 1949 tersebut. Dengan catatan bahwa Konstitusi RIS merupakan
konstitusi sementara sama halnya dengan Undang-Undang Dasar 1945.
Dalam Konstitusi RIS ini maka lembaga-lembaga
negara yang ada adalah: Mahkamah Agung, Dewan Pengawas Keuangan,
Menteri-Menteri, Presiden, Senat, dan DPR. Presiden dan Menteri-menteri
melaksanakan fungsi eksekutif, Mahkamah Agung, fungsi Yudisial, dan Senat juga
DPR melaksanakan fungsi legislatif.
Inilah untuk pertama kalinya di Indonesia, sebuah produk keputusan yang sah
(legal) di lakukan review.
Periode UUDS 1950
Selanjutnya, 19 Mei 1950 tercapailah persetujuan
antara RIS dan RI untuk membentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia. Adapun
Undang-Undang Dasar Sementara Negara kesatuan RI ialan perubahan Konstitusi RIS
1949 dan perubahan ini dibolehkan oleh Konstitusi RIS sesuai dengan pasal 190.
Pasal ini berisi ketentuan bahwa Konstitusi RIS boleh diubah, apabila keputusan
dapat diambil dengan pemufakatan sidang Senat dan DPR RIS, yang dihadiri oleh
sekurang-kurangnya dua pertiga jumlah anggota sidang.
Syarat ini terpenuhi sehingga berubahalah bentuk
federal dengan bentuk kesatuan. Dan kemudian pada tanggal 17 Agustus 1950
Presiden Soekarno mengikrarkan bentuk unitaris sudah kembali meliputi seluruh
Indonesia
Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia,
atau dikenal dengan UUDS 1950, adalah konstitusi yang berlaku di negara
Republik Indonesia sejak 17 Agustus 1950 hingga dikeluarkannya Dekrit Presiden
5 Juli 1959. UUDS 1950 ditetapkan berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1950
tentang Perubahan Konstitusi Sementara Republik Indonesia Serikat menjadi
Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia, dalam Sidang Pertama Babak ke-3
Rapat ke-71 DPR RIS tanggal 14 Agustus 1950 di Jakarta. Konstitusi ini
dinamakan “sementara”, karena hanya bersifat sementara, menunggu terpilihnya
Konstituente hasil pemilihan umum yang akan menyusun konstitusi baru.
Lembaga negara yang diatur dalam UUDS 1950 adalah,
Badan Konstituante, Majelis Perubahan Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat,
Presiden dan Wakil Presiden, Menteri-Menteri, Dewan Pengawas Keuangan, dan
Mahkamah Agung.
Periode berlakunya kembali UUD 1945 Juli 1959 - Maret 1966
Pada masa ini, terdapat berbagai penyimpangan UUD 1945, diantaranya:
- Presiden mengangkat Ketua dan Wakil Ketua MPR/DPR dan MA serta Wakil Ketua DPA menjadi Menteri Negara
- MPRS menetapkan Soekarno sebagai presiden seumur hidup
- Pemberotakan Partai Komunis Indonesia melalui Gerakan 30 September PKI
Periode 1966-1998 (Orde Baru)
Pada masa Orde Baru (1966-1998), Pemerintah menyatakan akan menjalankan UUD
1945 dan Pancasila secara murni dan konsekuen. Namun pelaksanaannya ternyata
menyimpang dari Pancasila dan UUD 1945 yang murni, terutama pelanggaran pasal
23 (hutang Konglomerat/private debt dijadikan beban rakyat Indonesia/public
debt) dan pasal 33 UUD 1945 yang memberi kekuasaan pada pihak swasta untuk
menghancur hutan dan potensi kekayaan alam kita.
Pada masa Orde Baru, UUD 1945 juga menjadi
konstitusi yang sangat “sakral”, diantara melalui sejumlah peraturan:
- Ketetapan MPR Nomor I/MPR/1983 yang menyatakan bahwa MPR berketetapan untuk mempertahankan UUD 1945, tidak berkehendak akan melakukan perubahan terhadapnya
- Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1983 tentang Referendum yang antara lain menyatakan bahwa bila MPR berkehendak mengubah UUD 1945, terlebih dahulu harus minta pendapat rakyat melalui referendum.
- Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1985 tentang Referendum, yang merupakan pelaksanaan TAP MPR Nomor IV/MPR/1983.
Periode 21 Mei 1998 – 19 Oktober 1999 dikenal dengan masa transisi. Salah
satu tuntutan Reformasi 1998 adalah dilakukannya perubahan (amandemen) terhadap
UUD 1945. Latar belakang tuntutan perubahan UUD 1945 antara lain karena pada
masa Orde Baru, kekuasaan tertinggi di tangan MPR (dan pada kenyataannya bukan
di tangan rakyat), kekuasaan yang sangat besar pada Presiden, adanya
pasal-pasal yang terlalu “luwes” (sehingga dapat menimbulkan mulitafsir), serta
kenyataan rumusan UUD 1945 tentang semangat penyelenggara negara yang belum
cukup didukung ketentuan konstitusi.
Tujuan perubahan UUD 1945 waktu itu adalah menyempurnakan aturan dasar
seperti tatanan negara, kedaulatan rakyat, HAM, pembagian kekuasaan, eksistensi
negara demokrasi dan negara hukum, serta hal-hal lain yang sesuai dengan
perkembangan aspirasi dan kebutuhan bangsa saat itu.
Perubahan UUD 1945 dengan kesepakatan
diantaranya tidak mengubah Pembukaan UUD 1945, tetap mempertahankan susunan
kenegaraan (staat structuur) kesatuan atau selanjutnya lebih dikenal sebagai
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), serta mempertegas sistem
pemerintahan presidensil.
Dalam kurun waktu 1999 - 2002, UUD 1945
mengalami 4 kali perubahan yang ditetapkan dalam Sidang Umum dan Sidang Tahunan
MPR:
1. Sidang Umum MPR
1999, tanggal 14-21 Oktober 1999, Perubahan Pertama UUD 1945
2. Sidang Tahunan MPR
2000, tanggal 17-18 Agustus 2000, Perubahan Kedua UUD 1945
3. Sidang Tahunan MPR 2001, tanggal 1-9
November 2000, Perubahan Ketiga UUD 1945.
4. Sidang Tahunan MPR
2002, tanggal 1-11 Agustus 2002, Perubahan Keempat UUD 1945
Hingga perubahan
keempat UUD 1945, lembaga negara yang diatur antara lain : BPK, MPR yang
terdiri dari DPD dan DPR sebagai lembaga legislatif, Presiden dan Wapres
sebagai lembaga eksekutif, dan Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Agung dan Komisi
Yudisial sebagai lembaga yudikatif. (***)
1 komentar:
Casinos near Casino Queen - Goyangfc.com
Goyangc Casino. Casino 더킹 바카라 Queen. Hotel. Casino Queen. Casino Queen. Hotel. Casino Queen. Casino Queen. Hotel. Casino 아르고 캡쳐 Queen. Casino 1xbet app Queen. bet분석 Hotel. 메이저 벳 먹튀 Casino Queen. Hotel. Casino Queen.
Posting Komentar