Hidup yang tak terrefleksi adalah hidup yang tak pantas dijalani klik di sini

MEMBUMIKAN TERORISME DI INDONESIA: KONTRIBUSI SIDNEY JONES DAN ICG

Senin, 19 Oktober 2009

Tidak banyak yang mengetahui sepak terjang wanita yang lahir 31 Mei 1952 pada era Orde Baru. Sebab, Sidney Jones baru dikenal oleh publik Indonesia pada tahun 2002 melalui artikelnya yang berjudul "Al-Qa'idah in Southeast Asia: The Case of the "Ngruki Network" in Indonesia." Sebelumnya, wanita ini memang pernah sangat akrab dengan Indonesia ketika menjadi aktivis LSM terkemuka seperti Ford Foundation (1977-1984), Amnesty Internatio-nal (1984-1988), Direktur Divisi Asia Human Rights Wacth (1989-2002), dan sekarang ini mejabat Direktur Indonesia International Crisis Group (Mei 2002 hingga sekarang). Jadi, hampir dapat dipastikan, 20 tahun lebih, Sidney mengenal Indonesia. Jadi, sebagai peneliti yang banyak "asam garam" dengan Orde Baru, Sidney telah mampu merekam apa saja yang terjadi selama 20 tahun yang terkait dengan berbagai isu seputar Tapol, Pelanggaran HAM, dan isu-isu lain yang merupakan "makanan" kelompok LSM.

Adapun studinya dimulai dari Oriental Studies and International Relations dari Universitas Pennsylvania dan setahun di Universitas Pahlevi di Shiraz, Iran. Namun belakangan ada informasi yang mengatakan bahwa Sidney merupakan kandidat doktor yang tidak selesai di Cornell University yang mengkonsentrasikan pada penelitian lapangan tentang NU di Jawa Timur. Karena itu, tidak mengherankan jika kemudian terdapat artikel substantif Sidney tentang NU yang dipublikasikan dalam jurnal di Cornell University, Indonesia. Selain itu, karya Sidney banyak terkait dengan dunia ke-LSM-an, yaitu laporan atau opini seputar isu pelanggaran HAM dan terorisme di Indonesia. Karena itu, Sidney sering menjadi komentator di televisi dan radio untuk isu-isu yang berkembang di Asia.


Kenapa Sidney hapal betul dengan jaringan teroris di Indonesia? Pertanyaan ini tampaknya tidak begitu sulit untuk dijawab. Pertama, selama Orde Baru Sidney memang termasuk aktivis LSM yang mengurusi Tahanan Politik yang berseberangan secara ideologis dengan pemerintah. Biasanya, mereka yang dari LSM mendapat akses baik secara legal maupun ilegal mengenai aktivitas mereka di Indonesia. Harus diakui, selama Orde Baru, Sidney me-mang terlibat aktif dalam mengurusi Tapol tersebut. Karenanya, Sidney memang pernah akrab dengan kelompok yang anti Pancasila. Dan, sebagaimana diketahui, kelom-pok ini memang berasal dari mereka yang sekarang dicap oleh Sidney sebagai anggota Al-Jama'ah Al-Islamiyah di Asia Tenggara.

Paling tidak, pada era Orde Baru telah menyebabkan aktivitas LSM merupakan "kekuatan ketiga" dalam segala lini kehidupan bangsa. Mereka merupakan "pahlawan" bagi yang tertindas. Secara teoritik, kelompok yang tertindas selama Orde Baru kebanyakan dari kelompok Islam yang menginginkan pendirian negara Islam atau hendak "menghidupkan" kembali Piagam Jakarta. Karena itu, melalui Undang-Undang Anti-Subversif, mereka dijerat/diseret ke pengadilan. Tidak sedikit tokoh Islam radikal sekarang adalah mereka yang pernah dijebloskan ke dalam penjara karena "berurusan" dengan pemerintah Soeharto. Di sinilah peran aktivis LSM dalam melakukan apa yang sering dikatakan dengan pendampingan (advokasi) terhadap mereka yang sedang menjalani proses hukum.

Kedua, Sidney merupakan aktivis yang cukup rajin melaporkan segala hal sesuatu kepada pemerintah Amerika Serikat. Hampir dapat dipastikan bahwa LSM yang "bekerja" di Indonesia merupakan "kaki tangan" pemerintah Amerika Serikat.[ Tidak sedikit laporan tersebut menjadi masukan di berbagai bagai badan-badan pemerintahan resmi di Amerika Serikat (misalnya Konggres, FBI, dan CIA). Informasi ini memang telah menjadi bahan tersendiri bagi mereka untuk dijadikan kebijakan terhadap negara yang menjadi objek penelitian. Bahkan baru-baru ini, Sidney sering mengisi forum di Washington D.C membicarakan hal-hal yang terkini terjadi di Aceh.

Sementara itu, jika dilihat dari artikel, laporan, wawancara Sidney, maka setidaknya ada empat hal yang paling sering disorot oleh wanita ini. Pertama, Konflik Aceh. Harus diakui selama ini, LSM asing yang paling getol menyuarakan persoalan Aceh adalah Amnesty International dan Asia Human Rights Watch. Amnesty International, misalnya, pada bulan Agustus 1993, telah menurunkan laporan yang cukup menyentak dunia yaitu informasi Pelanggaran HAM yang dilakukan di Aceh. Saat itu, pers Indonesia belum ada yang berani berbicara seperti Amnesty International, sebab Orde Baru memang melakukan pembatasan terhadap media massa untuk meliput Operasi Jaring Merah. Namun, Amnesty International telah berani menurunkan laporan tersebut, tentu saja, laporan ini "berjalan" dari tangan ke tangan pada kalangan yang terlibat dalam LSM. Kendati tidak disebutkan di situ nama Sidney, akan tetapi, jika dibandingkan dengan model laporan Agustus 2003, maka sedikit banyak Sidney berperan dalam penyusunan laporan tersebut. Atau, pernah memberikan data tentang hal tersebut. Begitu juga, ketika menjabat Asia Human Rights Watch, Sidney sangat intens menulis tentang Aceh. Bahkan dalam laporan sebagai direktur divisi ini, pada tahun 1994, Sidney telah melaporkan bagaimana kondisi Aceh. Hal ini pun tetap dilaku-kan oleh Sidney pada tahun 1999 dan sampai sekarang, baik sebagai direktur Asia Human Rights Watch dan wakil ICG di Indonesia, perhatian Sidney terhadap kasus Aceh tidak pernah luput.

Kedua, persoalan terorisme di Indonesia. Dalam hal ini, Sidney memang wanita paling terdepan dalam mengkaji terorisme di Indonesia dengan tesis bahwa terdapat jaringan terorisme di Indonesia dipimpin oleh Abu Bakar Ba'asyir melalui pesantren Ngruki. Dalam berbagai kesempatan, Sidney telah bersikukuh bahwa pelaku pemboman di berbagai tempat di Indonesia adalah dilakukan oleh kelompok Ba'asyir yang merupakan sel dari jaringan Al-Qa'idah. Selama menjadi Direktur Indonesia International Crisis Group, Sidney memang secara terus-menerus "membumikan" tesis ini, yang dimulai dengan artikel "Al-Qa'idah in Southeast Asia: The Case of the "Ngruki Network" in Indonesia." Bahkan, setelah menerbitkan artikel tersebut, pada 12 Desember 2002, ICG Jakarta kembali menurunkan laporan tentang "Indonesia Back-grounder: How The Jamaah Islamiyah Terrorist Networks Operated." Dan tidak sedikit artikel Sidney yang mengupas persoalan ini secara telegrafik dan "meyakinkan".

Ketiga, persoalan militer di Indonesia. Sejauh ini, perhatian Sidney terhadap persoalan militer di Indonesia memang cukup mengesankan. Selain, sebagaimana disebutkan di atas, pengalamannya selama Orde Baru, mendampingi Tapol dan pelanggaran HAM di berbagai kawasan konflik di Indonesia. Lebih dari itu, persoalan militer di In-donesia memang selalu dikaitkan dengan dua hal yang ditekuni oleh Sidney di atas. Karena itu, tidak mengherankan jika mendapati artikel tentang hal tersebut, maka persoalan militer selalu disinggung.[61] Namun uniknya, belakangan ini, Sidney malah "bekerjasama" dengan aparat kepolisian dalam memberikan informasi tentang terorisme di Indonesia, kendati dia sering memutar balikkan fakta "kerja sama ini".

Keempat, persoalan sosial politik bangsa Indonesia yang menyebabkan konflik di negara ini. Hampir semua peneliti asing, tidak terkecuali Sidney, selalu mempunyai bekal pemahaman sosial politik Indonesia. Sebab, tanpa memahami persoalan ini, maka sulit bagi mereka untuk masuk ke jantung masalah yang akan mereka bidik. Karena itu, Sidney tidak dapat mengabaikan persoalan sosial politik, seperti KKN, perilaku pejabat negara dan persoalan lainnya, untuk dijadikan sebagai "kacamata" untuk melihat konflik di Indonesia. Dalam beberapa pandangan Sidney tentang persoalan krisis di Indonesia, dia selalu mengaitkan "apa yang terjadi" di Jakarta.



Dalam hal ini, ada beberapa hal yang perlu digaris-bawahi. Pertama, Sidney adalah salah seorang aktivis yang menerapkan "standar ganda" seperti yang sering dilakukan oleh Amerika terhadap aktivis garis keras di Timur Tengah. Hal ini setidaknya, tampak, kalau pada Orde Baru, para Tapol ini dibantu untuk dihargai hak-haknya, namun sejak Orde Reformasi, seiring dengan perguliran wacana terorisme, kelompok yang dibantu Sidney ini akhirnya dijebak melalui berbagai teori untuk menempatkan mereka, bukan hanya bagi musuh Indonesia, tetapi musuh dunia, khususnya Amerika Serikat.

Kedua, peran Sidney dalam "membumikan" wacana terorisme di Indonesia cukup signifikan. Hal ini setidaknya dapat dilihat cara apa dan bagaimana dia menyajikan data-data yang berhubungan dengan terorisme di negeri ini. Hampir dapat dikatakan, belum ada sejenis "laporan tandingan" yang mengupas lebih jauh tesis-tesis Sidney ini. Hampir semua media larut dengan tesis Sidney ini, dan seolah-olah tesis tersebut harus dijadikan sebagai referensi utama dalam melihat persoalan terorisme di Indonesia. Keterkaguman ini menyebabkan wacana terorisme, seakan-akan, hanya melalui "corong" Sidney saja.

Ketiga, bidikan-bidikan Sidney terhadap persoalan di Indonesia ternyata sedikit banyak menciptakan image negatif Indonesia di muka internasional. Hal ini tentu saja memberikan implikasi yang cukup "mengkhawatirkan" mengingat laporan Sidney dikonsumsi secara internasional dan terutama menjadi "masukan" bagi pemerintah Amerika Serikat. Tanpa disadari, model ini memang pernah dilakukan oleh beberapa sarjana asing dalam mensosialisasikan hasil riset mereka.

Sementara itu, International Crisis Group (ICG) merupakan sebuah organisasi non-profit multinasional yang independen dengan mempekerjakan lebih dari 90 staff di lima benua melalui riset lapangan dan advokasi tingkat tinggi untuk mencegah dan menyelesaikan konflik berbahaya. Karena itu, organisasi ini bersifat multinasional, sebab dia memiliki beberapa perwakilan di hampir 30 negara dengan kantor pusat di Belgia serta kantor-kantor advokasi tersebar di Washington DC, New York, Moscow dan Paris serta kantor urusan media di London.

ICG pada saat ini mengoperasikan tiga belas kantor cabang (Amman, Belgrade, Bogota, Cairo, Freetown, Islamabad, Jakarta, Kathmandu, Nairobi, Osh, Pristina, Sarajevo dan Tbilisi) dengan para analis yang bekerja di lebih dari 30 negara dan daerah krisis di empat benua. Di Afrika, negara-negara tersebut meliputi Burundi, Rwanda, Republik Demokratik Congo, Sierra Leone-Liberia-Guinea, Ethiopia, Eritrea, Somalia, Sudan, Uganda dan Zimbabwe; di Asia, Indonesia, Myanmar, Kyrgyzstan, Tajikistan, Turkmenistan, Uzbekistan, Pakistan, Afghanistan dan Kashmir; di Eropa, Albania, Bosnia, Georgia, Kosovo, Macedonia, Montenegro, dan Serbia; di Timur Tengah, seluruh bagian Afrika Utara sampai ke Iran; dan di Amerika Latin, Colombia.

ICG mendapatkan dukungan dana dari pemerintah, yayasan amal, perusahaan dan donor individual. Negara-negara yang pada saat ini turut menyediakan dana antara lain: Australia, Austria, Canada, Denmark, Finlandia, Perancis, Jerman, Irlandia, Jepang, Luxemburg, Belanda, Norwegia, Swedia, Swiss, Republik Rakyat Cina (Taiwan), Turki, Inggris dan Amerika Serikat. Sumbangan dari yayasan dan donor swasta meliputi Atlantic Philanthropies, Carnegie Corporation of New York, Ford Foundation, Bill & Melinda Gates Foundation, William & Flora Hewlett Foundation, Henry Luce Foundation, John D. & Catherine T. Mac Arthur Foundation, John Merck Fund, Charles Stewart Mott Foundation, Open Society Institute, Ploughshares Fund, Sigrid Rausing Trust, Sasakawa Peace Foundation, Sarlo Foundation of the Jewish Community Endowment Fund, the United States Institute of Peace dan The Fundacao Oriente.

Dewan ICG yang di dalamnya termasuk tokoh-tokoh penting dari berbagai bidang politik, diplomasi, bisnis dan media terlibat secara langsung dalam membantu agar laporan dan rekomendasi ICG mendapat perhatian dari para pembuat kebijakan senior di seluruh dunia. ICG diketuai oleh mantan Presiden Finlandia Martti Ahtisaari; sedangkan Presiden dan Direktur Eksekutifnya dijabat oleh mantan Menteri Luar Negeri Australia Gareth Evans sejak Januari 2000.

Adapun susunan lengkap dewan ICG adalah sebagai berikut: ketua ICG Martti Ahtisaari, (Mantan Presiden Finlandia), Wakil Ketua Stephen Solarz (Mantan Anggota Konggres Amerika Serikat), Wakil Ketua Maria Livanos Cattaui, Presiden dan Direktur Eksekutif ICG Gareth Evans (Mantan Menteri Luar Negeri Australia). Sedangkan Dewan ICG adalah: S. Daniel Abraham (Ketua Center for Middle East Peace and Economic Cooperation, Amerika Serikat); Morton Abramowitz (Mantan Asisten Sekretaris Negara Amerika Serikat dan Duta Besar Amerika untuk Turkey); Kenneth Adelman (Mantan Duta Besar dan Direktur the Arms Control and Disarmament Agency Amerika Serikat); Saud Nasir Al-Sabah (Mantan Duta Besar Kuwaiti Untuk Inggris dan Amerika Serikat dan Menteri Infomasi dan Perminyakan Kuwait); Richard Alien (Mantan Penasihat Keamanan Negara Presiden Amerika Serikat); Louise Arbour (Jaksa Agung Canada, dan Mantan Former Chief Prosecutor, International Criminal Tribunal for former Yugoslavia); Oscar Arias Sanchez (Mantan Presiden Costa Rica dan Penerima Nobel Perdamaian tahun 1987); Ersin Arioglu (Anggota Parlimen Turkey, dan Ketua Yapi Merkezi Group); Emma Bonino (Anggota Parlemen Masyarakat Eropa dan Mantan Komisioner Masyarakat Eropa); Zbigniew Brzezinski (Mantan Penasihat Keamanan Nasional Presiden Amerika Serikat); Cheryl Carolus (Mantan Komisi Tinggi Afrika Selatan untuk Kerajaan Inggris dan Mantan Sekretaris Jendral ANC); Jorge Castaeda (Mantan Menteri Luar Negeri Mexico); Victor Chu (Ketua First Eastern Investment Group, Hong Kong); Wesley Clark (Mantan NATO Supreme Allied Commander, Eropa); Ruth Dreifuss (Mantan Presiden Switzerland); Uffe Ellemann-Jensen (Mantan Menteri Urusan Luar Negeri, Denmark); Mark Eyskens (Mantan Perdana Menteri Belgia); Marika Fahlen (Mantan Duta Swedia untuk Urusan Kemanusiaan dan Direktur Social Mobilization and Strategic Information, UNAIDS); Yoichi Funabashi (Jurnalis dan Penulis, Jepang); Bronislaw Geremek (Mantan Menteri Urusan Luar Negeri Polandia); I. K. Gujral (Mantan Perdana Menteri India); Carla Hills (Mantan U.S. Secretary of Housing dan U.S. Trade Representative); Asma Jahangir (UN Special Rapporteur on Extrajudicial, Summary or Arbitrary Executions dan Mantan Wakil Komisi HAM Pakistan); Ellen Johnson Sirleaf (Penasihat Senior, Modem Africa Fund Managers dan Mantan Menteri Keuangan Liberia dan Direktur UNDP untuk kawasan Afrika); Mikhail Khodorkovsky (Ketua Kantor Eksekutif, Open Russia Foundation); Wim Kok (Mantan Perdana Menteri Belanda); Elliott F Kulick (Ketua Pegasus International, Amerika Serikat); Joanne Leedom-Ackerman (Novelis dan Jurnalis, Amerika Serikat); Todung Mulya Lubis (Penasihat HAM dan Penulis, Indonesia); Barbara Mc. Dougall (Mantan Sekretaris Negara untuk Urusan Eksternal, Canada); Mo Mowlam (Mantan Sekretaris Negara untuk Irlandia Utara, UK); Ayo Obe (Presiden, Civil Liberties Organisation, Nigeria); Christine Ockrent (Jurnalis dan Penulis Perancis); Friedbert Pfluger (Ketua German Bundestag Committee on EUAffairs); Surin Pitsuwan (Mantan Menteri Luar Negeri, Thailand); Itamar Rabinovich (Presiden Tel Aviv University dan mantan Duta Besar Israel untuk Amerika Serikat dan Ketua Negosiator dengan Syria); Fidel V. Ramos (Mantan Presiden Philiphina); Mohamed Sahnoun (Penasihat Khusus Sekretaris Jendral PBB untuk Afrika); Salim A. Salim (Mantan Perdana Menteri Tanzania dan Sekretaris Jenderal Organisation of African Unity; Douglas Schoen (Founding Partner of Penn, Schoen & Berland Associates, Amerika Serikat); William Shawcross (Jurnalis dan Penulis, UK), George Soros (Ketua Open Society Institute); Eduardo Stein (Mantan Menteri Urusan Luar Negeri Guatemala); Thorvald Stoltenberg (Mantan Menteri Urusan Luar Negeri Norwegia); William O. Taylor (Ketua Emeritus, The Boston Globe Amerika Serikat); Ed van Thijn (Mantan Netherlands Minister of Interior dan Mayor of Amsterdam); Simone Veil (Mantan Presiden Parlemen Eropa dan Menteri Kesehatan Perancis); Shirley Williams (Mantan Sekretaris Negara untuk Pendidikan dan Sains dan Anggota House of Lords, UK); Jaushieh Joseph Wu (Deputi Sekretaris Jenderal Presiden Taiwan); Grigory Yavlinsky (Ketua Yabloko Party and its Duma faction, Russia); Uta Zapf (Wakil German Bundestag Subcommittee on Disarmament, Arms Control and Non-proliferation); dan George Mitchell (Ketua Emiritus ICG dan Mantan U.S. Senate Majority Leader).

Dari list di atas menunjukkan beberapa hal yang perlu perhatikan. Pertama, hampir semua dewan ICG merupakan nama-nama yang tidak pernah "bermasalah" dengan Amerika Serikat, khususnya dengan CIA dan FBI. Karena itu, tidak berlebihan, jika dikatakan bahwa dewan ICG memang banyak sekali "warna" Amerikanya. Ini terlihat dari beberapa nama dewan tersebut pernah sebagai Very Important Person di Amerika Serikat. Mereka ada yang pernah berkantor di gedung putih (White House) dan anggota Konggres. Dengan kata lain, mereka pernah terlibat langsung dalam menyusun berbagai kebijakan Amerika Serikat semasa bertengger semasa pemerintah Ronald Reagan dan George Bush. Dalam hal ini, terdapat nama Zbigniew Brzezinski, yang pernah "bernyanyi" dalam salah satu forum, tentang bagaimana Amerika (baca: CIA) melatih kelompok Islam Radikal di perbatasan Pakistan.

Kedua, nama-nama di atas juga menampakkan bagai-mana "memanfaatkan" tokoh penting di negeri berkembang atau dunia ketiga. Kelihatan nama-nama dari negera ber-kembang seperti Surin Pitsuwan, Todung Mulya Lubis, Asma Jahangir yang merupakan corong HAM Barat. Karena itu, reputasi mereka cukup dikenal secara internasional. Demikian pula, mereka juga pernah terlibat aktif dalam menyuarakan HAM di negera mereka sendiri, khususnya Todung dan Asma.

Ketiga, nama-nama dewan ICG juga berasal dari mantan "Orang Pertama" di beberapa negara maju, seperti Mark Eyskens, Salim A. Salim, I.K. Gujral, Wim Kok, Oscar Arias Sanchez, Fidel V. Ramos. Nama-nama ini memang sangat "bersih" bagi Amerika Serikat, kendati di negara mereka sendiri, sering dipermasalahkan, semisal Fidel V. Ramos. Keberadaan mereka tentu saja akan meyakinkan reputasi ICG di mata dunia ketiga, bahwa organisasi ini memang bersifat multinasional. Karena itu, tidak "beralasan" tampaknya untuk mengatakan, bahwa organisasi ini adalah untuk kepentingan Barat semata.

Ketiga, dalam dewan ICG tampak ada nama George Soros, seorang Yahudi yang pernah "mengegerkan" Asia saat terjadi Krisis Moneter pada tahun 1997. Posisi Soros tentu saja akan sangat menguntungkan ICG dari dua hal; untuk mendapatkan dana dari Soros dan mempertimbangkan kepentingan Yahudi di muka bumi ini. Karena itu, riset-riset ICG tidak pernah "membidik" kebijakan Israel di Timur Tengah, seperti yang dilakukan oleh MERIA (Middle East Reviews International Affairs).

Artikel Terkait



0 komentar:

momentum © 2010 Template by:
Wardaniyanto Dot Com