Hidup yang tak terrefleksi adalah hidup yang tak pantas dijalani klik di sini

REAKTUALISASI TRADISI ILMIAH ISLAM

Jumat, 31 Juli 2009

Oleh : Anwar Nuris M.Si
Sejarah, jika dipandang lebih sebagai khazanah daripada anekdot atau kronologi, dapat menghasilkan transformasi yang menentukan citra dalam sains yang merasuki kita sekarang. Citra itu telah dibuat sebelumnya, bahkan oleh para ilmuwan sendiri, terutama dari studi tentang pencapaian ilmiah yang tuntas seperti yang direkam dalam karya-karya klasik dan, yang lebih baru, dalam buku-buku teks yang dipelajari oleh setiap generasi ilmuwan yang baru untuk mempraktekkan kejuruannya. Buku-buku tersebut juga hampir selalu dibaca sebagai mengatakan bahwa metode-metode ilmiah itu semata-mata apa yang dilukiskan dengan tekhnik-tekhnik manipulatif yang digunakan dalam mengumpulkan data-data buku teks, bersama-sama dengan operasi-operasi logis yang digunakan ketika menghubungkan data-data tersebut dengan generalisasi-generalisasi teoritis dari buku teks itu. Hasilnya ialah sebuah konsep sains dengan implikasi yang sangat menonjol tentang sifat dan perkembangannya.
Dalam Islam, Muslim telah mencari Tuhan didalam sejarah. Kitab suci mereka, Al-Qur’an, memberi mereka misi historis. Tugas utama mereka adalah membentuk komunitas yang seluruh anggotanya – walaupun yang paling lemah sekalipun – diperlakukan dengan rasa hormat. Pengalaman membentuk masyarakat seperti itu dan hidup didalamnya akan memberi mereka kedekatan dengan sifat ketuhanan, karena mereka akan hidup sesuai dengan kehendak Tuhan. Seorang Muslim harus menyelamatkan sejarah, dan itu berarti bahwa urusan-urusan negara tidak menghalangi kehidupan spiritualitas tetapi merupakan bagian dari agama itu sendiri. Pengetahuan politik bagi umat Islam merupakan sesuatu yang sangat penting. Seperti cita-cita agama lain, sulit sekali melaksanakannya dalam kondisi sejarah yang tragis dan penuh kekurangan, tetapi setelah mengalami kegagalan demi kegagalan, umat Islam harus bangkit dan memulai lagi. Semua usaha harus dilakukan untuk mengembalikan sejarah Islam pada jalurnya. Jika tidak, seluruh kerajaan agama akan runtuh, dan kehidupan akan menguap tanpa makna. Seorang Muslim akan menghubungakan peristiwa-peristiwa pada masanya dengan masa lalu sebagaimana orang Kristen merenung dibawah patung suci dan menggunakan imajinasi kreatif untuk menemukan inti sifat-sifat ketuhanan yang tersembunyi. Jadi, nilai sejarah eksternal orang-orang Muslim bukan pusat perhatian kedua, karena salah satu karakteristik utama Islam adalah pensakralan sejarah.
Kaledioskop peran dan fungsi sejarah dalam tradisi Islam merupakan salah satu wujud konkret responsibilitas Islam sebagai sebuah peradaban terhadap tantangan zaman. Jargon Al-Muhafadhotu ’ala al-Qadimi as-Shaleh wa al-akhdu bi al-Jadidi al-Ashlah mencoba memerikan sikap dan upaya bagi setiap Muslim untuk menghadapi era global. Jadi, menurut pesan tersirat dalam jargon tersebut, seorang Muslim cukup dengan melakukan upaya ”re-reading” terhadap sejarah yang pernah ditorehkan oleh Islam sebagai sebuah peradaban, terutama pada abad kedelapan hingga akhir abad kelima-belas dimana tidak sedikit sejarawan dunia menyepakati bahwa pada abad-abad inilah Islam mencapai puncak kejayaan dalam dunia keilmuan.
Belum lagi, implan fakta-fakta empirik yang begitu melekat dalam benak kita tentang penemuan-penemuan mutakhir dunia keilmuan belakangan ini yang juga memberikan penguatan terhadap kebenaran atas fakta-fakta yang telah termaktub dalam kitab suci Al-Qur’an.
Kasus semacam penelitian terhadap karakteristik air oleh seorang peneliti Jepang dapat diajukan sebagai contohnya. Seberapa besarkah tingkat keakuratan dan relevansifitas zaman keemasan Islam sekitar 15 abad silam dalam konteks dunia maya abad 21 ini ketika dibingkai dalam frame reaktualisasi? Jawaban atas pertanyaan ini hanya akan terjawab dengan jitu dalam proses realisasi jargon islami diatas yang akan dilakukan oleh umat Islam, lebih-lebih oleh sarjana-sarjana Muslim sebagai salah satu tanggung-jawab kesarjanaannya.
Dari abad kedelapan hingga akhir abad keempat belas, ilmu pengetahuan Arab (Islam) barangkali adalah sains yang paling maju di dunia, yang jauh melampaui Barat dan Cina”. Asumsi Toby E. Huff ini memberikan indikasi kuat bahwa peradaban Islam pernah tumbuh secara dominan dan berkembang dalam konstelasi peradaban umat manusia. Fakta dasar pendukung keabsahan asumsi ini adalah dominasi ilmuwan/filosuf muslim dalam praktek-praktek ilmiah yang telah dilakukannya.
Sejatinya, tradisi ilmiah dalam tradisi Islam telah dimulai sejak Nabi Muhammad saw menjalankan misi dakwah-nya terhadap masyarakat Arab pada abad ketujuh hijriyah. Hanya saja, proses pembentukan karakter ilmiah dalam Islam digagas pada saat pendirian institut penerjemahan Bayt al-Hikmah oleh khalifah Abbasiyah Al-Ma’mun pada abad kedelapan. Pendirian Bayt al-Hikmah ini mendapat dukungan penuh dan dana yang tidak sedikit dari khalifah Al-Makmun untuk dijadikan sebagai pusat riset dan penerjemahan terbesar di Baghdad pada masanya. Dalam insitut penerjemahan Bayt al-Hikmah ini, J. Pederson menyinggung tiga tokoh yang menonjol yaitu Salim dan dua rekannya Sahl bin Harun dan Sa’id bin Harun. Selain mereka ada seorang berkebangsaan Persia yang menonjol, yaitu al-Khawarizmi yang telah berhasil membuat sebuah karya dibidang astronomi berdasarkan tulisan-tulisan orang-orang India. Profesor A. I. Sabra dengan baik menggambarkan proses dan kegiatan penerjemahan dalam Bayt al-Hikmah ini serta sumbangan al-Makmun terhadap aktifitas ilmiah yang luar biasa ini sebagai berikut: Menurut tradisi dikatakan bahwa al-Makmun, seperti juga al-Manshur (138-9/1754-5) dan al-Rasyid (170-94/786-809) sebelumnya, telah memperoleh buku-buku ilmiah dan filosofis dari Byzantium, untuk kemudian diterjemahkan. Koleksi yang lain dikatakan telah datang dari Syprus. Koleksi-koleksi ini sebenarnya telah dihimpun secara gradual sejak akhir masa pemerintahan Bani Umayyah. Penerjemahan di Bayt al-Hikmah pada masa al-Makmun, menjadi kegiatan yang sangat terorganisir dengan lingkup dan ketelitian yang tidak pernah terjadi sebelumnya.
Para penerjemah bekerja dalam kelompok, yang masing-masing diawasi oleh seorang ahli dan dibantu oleh beberapa penyalin. Karya-karya yang diterjemahkan dari bahasa Syria diperiksa dengan cara dibandingkan langsung dengan karya asli Yunaninya, kalau memang memungkinkan. Dan terjemahan-terjemahan Arabnya dari Yunani terus direvisi seiring diperolehnya manuskrip-manuskrip yang baru. Al-Makmun benar-benar dapat dikatakan telah memberikan semangat besar terhadap gerakan (penerjemahan) tersebut, yang telah menyebabkan sejumlah besar karya-karya ilmiah dan filsafat Yunani dapat dengan segera diperoleh oleh sejumlah besar sarjana-sarjana yang berbahasa Arab.
Peran besar al-Makmun terhadap proses penerjemahan besar-besaran di Bayt al-hikmah ini kemudian dipandang sebagai patron terbesar filsafat dan saints sepanjang sejarah Islam. Pada abad kedelapan juga, Ibn Muqaffa’ yang mengabdi ke khalifah al-Manshur (754-775) telah menerjemahkan dengan baik karya-karya sastra maupun filosofis ke dalam bahasa Arab. Diantara karya tersebut adalah Kalilah wa Dimnah, yang ia terjemahkan dari bahasa Pahlevi dari fable bahasa India karangan pujangga India Bidpei. Selain itu ia juga menerjemahkan Khudai-Namah, atau Sejarah Raja-raja Persia, dan juga Ayin-namah, Kitab Mazda, Biografi Anushirwan, dan sejumlah karya-karya sastra dan etik yang asli lainnya.
’Abdullah ini juga dipandang sebagai penerjemah karya-karya filosofis seperti Kategori-Kategori, Hermeneutika, dan Analytica Posteriora karangan Aristoteles, dan juga Isagoge karangan Porphyry. Pada masa ini pula beberapa karya Aristoteles, Almagest Ptolemius dan Element karya Euclid telah diterjemahkan.
Pada awal abad kesembilan, khususnya pada masa Harun al-Rasyid (atau ada juga yang mengatakan selama masa al-Manshur), sebuah risalah India yang terkenal, Sidhanta (Sindhind) diterjemhkan ke dalam bahasa Arab oleh Muhammad bin Ibrahim al-Fazari (w.806), yang dilaporkan sebagai orang pertama kali membangun astrolobe dalam Islam, dan salah seorang dari dua astronom Muslim awal. Kitab Quadripartitus karya Ptolemius, yang diterjemahkan oleh al-Bithriq pada masa al-Manshur, pada masa Harun ini telah diberi komentar oleh ’Umar bin Farukhan.
Tetapi, seperti telah disinggung diatas pada masa al-Makmunlah penerjemahan besar-besaran terhadap karya-karya filosofis dan ilmiah dilakukan. Misalnya, karya-karya filsafat Galen, seperti Risalah tentang Demonstrasi, Sillogisme Hipotetik, Etika, kemudian parafrasenya dari Sofis, Parmenides, Cryatylus, Euthydemus, Timaeus, Stateman, Republik dan Hukum karya Plato, telah diterjemahkan oleh Hunayn bin Ishaq dan juga muridnya ’Isa bin Yahya kedalam bahasa Arab untuk pelindungnya Muhammad Musa. Informasi lain mengatakan bahwa ia juga telah menerjemahkan Timaeus dan Laws karya Plato.
Hunayn juga telah menerjemahkan karya-karya Peripatetik Galen, seperti Risalahnya tentang Penggerak yang Tidak Bergerak ke dalam bahasa Arab dan Syria dan Pengantar Logika hanya kedalam bahasa Syria. Jumlah-jumlah Silogisme (The Numbers of Syllogism) ia terjemahkan ke dalam bahasa Syria, tetapi anaknya ’Ishaq. kemudian menerjemahkannya ke dalam bahasa Arab.
Selanjutnya ’Ishaq putra Hunayn ini dikatakan telah menerjemahkan kedalam bahasa Arab karya-karya Aristoteles seperti Categories, Hermenutica, De Generatione et Corruptione, Fisika, Etika dalam komentar Porphyry, bagian-bagian Metafisika, kemudian karya Plato Sophist, bagian-bagian Timaeus dan akhirnya De Plantis.
Abad ini dan berikutnya memang banyak menghasilkan penerjemah-penerjemah agung, seperti Ibn Na’imah al-Himsi (w.835), Abu Bisyr Matta (w.940), Yahya bin ’Aidi (w.974), Qustha’ bin Luqa’ (w.900), Abu Ustman al-Dimasyqi (w.900), Abu Ali bin Zur’a (w.1008), juga disebut Ibn al-Khammar (murid terbaiknya Yahya bin ’Adi) dan terakhir astrolog-filosuf Tsabit bin Qurra’ dari Harran. Terjemahan filosofis utama Qustha antara lain empat buku pertama Physica Aristoteles, Tentang Kejadian dan Kehancuran (On Generation and Corruption) (Buku I), dan karya Pseudo Plutarch Opinion of The Physicist atau Placita Philosopharum.
Selain proses penerjemahan besar-besaran, aktifitas kajian-kajian ilmiah juga intens dilakukan oleh para ilmuwan/filosuf Muslim pada masa itu. Aktifitas kajian-kajian ilmiah ini dapat dilihat pada saat Ibn Sina berdebat dengan gurunya al-Natili,
Pada waktu itu Abu ’Abdullah al-Natili, yang mengklaim telah mengetahui filsafat, tiba di Bukhara, maka ayahku memintanya untuk tinggal di rumah kami dan mengabdikan dirinya untuk mendidikku. Sebelum ia datang, aku telah mengenal metode prosekusi dan perbantahan (rebuttal) sebagaimana yang dipraktekkan oleh ahli-ahli fiqih. Kemudian aku mulai membaca Isogage (Karangan Porphyry) dibawah bimbingan al-Natili. Dan ketika ia menyinggung definisi dari tentang genus, aku mendatangkan pujian darinya karena telah memverifikasi definisi ini dengan cara yang belum pernah ia mendengarnya. Ia sangat takjub kepadaku, apapun problem yang ia kemukakan aku mengkonsepsikannya lebih baik darinya, sehingga ia menasehati ayahku agar aku tidak menyibukkan diri pada apapun kecuali belajar.
Aku terus belajar sampai aku membaca bagian-bagian yang sederhana dari logika dibawah bimbingannya. Tapi untuk hal-hal yang lebih rumit ia tidak punya pengetahuan apapun tentang mereka. Akhirnya aku mulai membaca sendiri naskah-naskah dan mempelajari komentar-komentarnya sampai aku menguasai logika. Adapun kitab Elements karangan Euclid, aku membaca figur-figur lima atau enam pertama dibawah bimbingannya; kemudian aku berusaha menemukan solusi bagi bagian lainnya dari buku tersebut yang belum dibaca dengan usaha sendiri.
Setelah itu aku beralih ke Almagest (karangan Ptolemey), dan ketika aku menyelesaikan bagian-bagian pengantarnya dan sampai ke figur-figur geometrik al-Natili berkata kepadaku: ”Teruskan membaca dan menyelesaikan figur-figur tersebut ioleh dirimu sendiri, kemudian barulah tunjukkan kepadaku sehingga dapat kujelaskan mana yang benar dan mana yang salah.” Tetapi ia tidak mau berhubungan lagi dengan naskah tersebut, sehingga aku berusaha menyelesaikannya sendiri. Dan banyak figur yang tidak ia pahami hingga aku menjelaskannya dan membuatnya mengerti. Kemudian al-Natili meninggalkanku menuju ke Jurganj.
Bentuk kajian ilmiah lain yang lebih formal adalah majelis falsafi Abu Sulayman al-Sijistani al-Manthiqi (w. 985) yang diselenggarakan di kediaman al-Sijistani sendiri. Di kediaman al-Sijistani inilah orang-orang terpelajar dari berbagai wilayah Dunia Islam berkumpul. Para anggota kajian al-Sijistani ini tidak hanya berasal dari kalangan Muslim itu sendiri, bahkan juga ada yang beragama Kristen, Yahudi dan Zoroaster. Dalam dokumentasinya tentang kelompok kajian al-Sijistani ini, Abu Hayyan al-Tawhidi menyebutkan bahwa De Anima karangan Aristoteles merupakan salah satu pelajaran formal yang disampaikan oleh al-Sijistani dalam majelisnya. Demikian juga al-Sijistani mendiskusikan topik-topik yang diambil dari Physica Aristoteles. Al-Tawhidi juga menambahkan bahwa majelis-majelis para sarjana ini selalu disertai dengan penyampaian kata-kata bertuah (al-Fawa’id) atau kata-kata hikmah yang sering diberi komentar dan penjelasan tentang makna yang tersembunyi didalam ucapan-ucapan tersebut.
Aktifitas ilmiah lain yang telah memberikan kontribusi besar terhadap perkembangan pemikiran di dunia Islam adalah penelitian-penelitian ilmiah yang telah dilakukan oleh para ilmuwan Muslim. Demi kemudahan, hasil karya penelitian yang telah dilakukan oleh para ilmuwan Muslim akan dikelompokkan sesuai dengan klasifikasi ilmu Ibn Khaldun (w.1406) dalam Muqaddimah-nya yang terkenal (yang juga merupakan pengantar komprehensif buku sejarahnya Kitab al-’Ibar) yang membagi ilmu pengetahuan kedalam al-’Ulum al-Naqliyah (Ilmu-ilmu agama) dan al-’Ulum al-’Aqliyah (ilmu-ilmu Rasional).
Alur singkat tradisi ilmiah Islam diatas telah memberikan sejumlah gambaran bagi kita umat Islam belakangan ini bahwa peran Islam sebagai sebuah peradaban umat manusia memanglah senyatanya ada. Siapapun boleh mengklaim bahwa otentisitas tradisi keilmuan Islam yang berkembang pada zaman keemasan Islam ini merupakan sesuatu yang bukan murni dihasilkan oleh ilmuwan/pemikir Muslim. Persoalan ini kemudian menjadi sebuah pertanyaan yang kurang layak lagi diperdebatkan ketika kita diperhadapkan pada persoalan akan fungsi eksistensi kita sebagai sarjana Muslim, “Bagaimana seharusnya seorang sarjana Muslim menentukan sikap untuk merespon tantangan masa kini dan masa depan keilmuannya?”. Itupun kalau kita hendak menjawabnya dan kalau kita sepakat dengan tesa Arnold J. Toynbee, sejarawan dunia berkebangsaan Inggris yang begitu optimis dengan peran Islam dalam mengawal masa depan peradaban, bahwa perkembangan pada dasarnya adalah “process of challenge and response”, dan keberhasilan suatu peradaban berkaitan erat dengan bagaimana manusia pendukungnya menjawab tantangan terkininya. Bagaimana fungsi ini bergerak ke depan dan kearah manakah fakta sosial bergerak sepanjang kontinum ruang-waktu, kita biarkan sejarah di masa depan berkata. Wallahu a’lam bis Showab!

Artikel Terkait



0 komentar:

momentum © 2010 Template by:
Wardaniyanto Dot Com